Akun Fufufafa banyak beredar di angkasa dan menjadi perbincangan sehari-hari berbagai lapisan masyarakat, termasuk pakar telematika seperti Roy Suryo yang menyimpulkan bahwa tersangka pemilik akun tersebut adalah Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih 2024-2029.
Meski Gibran sendiri membantahnya dan Menkominfo juga membantah kalau itu adalah Gibran, namun mereka belum bisa membuktikan siapa dirinya. Bahkan, menurut Roy Suryo, Tim Siber Polri bisa melacak dan melacak pemilik akun yang dicuri tersebut. Caranya sangat mudah dan tidak memakan banyak waktu, hanya 2 hari saja. Tidak menutup kemungkinan APH (Aparat Penegak Hukum) akan mengusut dan menangkap pemilik akun fufufafa setelah tanggal 20 Oktober 2024 karena melontarkan penghinaan terhadap Presiden Prabowo dan keluarga yang mengandung kata-kata kotor dan erotis. Bahkan ada yang melontarkan kata-kata menyentuh terkait agama. Pengguna internet dan anak muda negeri ini, yang mewakili lebih dari 50% penduduknya, tidak suka dan marah kepada pemilik akun. Penggunaan media sosial secara cuma-cuma nampaknya digunakan untuk tujuan yang tidak produktif, bahkan menunjukkan rusaknya pemikiran dan perilaku generasi muda Indonesia. Ribuan kata yang ada di akun fufufafa seakan-akan adalah seseorang yang otaknya penuh kotoran, berbau busuk, jorok, dan buta huruf. Lebih berbahaya lagi jika pembuat akunnya adalah seorang pecandu narkoba, suka tanggap dan kehilangan keseimbangan mental serta berpikir tinggi. Kita yang membaca beberapa tweet di akun fufufafa sudah terlanjur sakit dan ingin muntah, dan sepertinya kita tidak berada di negara bernama Indonesia yang penuh dengan sopan santun, sopan santun, dan menghormati orang yang lebih tua.
Tak perlu kita bicara dari sisi politik, motivasi dari isi akun fufufafa sekarang tercipta, sebelum pelantikan presiden dan presiden, atau karena motivasi kebencian, ketidakpuasan dan kemarahan di ‘tempat orang berada. . , tapi mari kita pikirkan pertanyaan berikut: “Berpikir dan berperilaku itu buruk?” » dari beberapa generasi muda di bidang hubungan sosial dan masyarakat. Siapapun yang mengaku sebagai orang tua, serangan terhadap hubungan sosial ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Bagaimana perasaan kita sebagai orang tua? Ada anak muda berusia 30 hingga 40 tahun yang secara terbuka menghina, menghina, menghina, dan meremehkan orang tua mereka yang berusia 70 hingga 75 tahun dan keluarganya di jejaring sosial. Budaya ras kita yang mana yang mengajarkan hal seperti itu? Jujur saja, ini salah kita sebagai orang tua. Di mana kita akan mengajar anak-anak kita? Sudahkah kita sebagai orang tua menjadi teladan bagi keluarganya? Bukankah gaya hidup anak-anak kita sebanding dengan sumber daya dan peluang yang diberikan orang tua kepada diri mereka sendiri?
Kita berharap bantahan Gibran benar dan akun Fufufafa bukan miliknya. Jangan sampai hal ini menjadi berita buruk di tingkat nasional. Pasalnya Gibran merupakan tambahan dari wakil presiden terpilih, mantan Wali Kota Solo, dan anak Presiden Jokowi. Konten ini tayang di Kompasiana.com dengan judul “Fufufafa, Runtuhnya Akhlak Bangsa”
Namun jika apa yang dikatakan Roy Suryo dan netizen yang melakukan riset digital dan menemukan tanda-tanda Gibran dan Fufufafa, maka kita sedang menghadapi masalah besar bagi negeri ini.
Kita telah kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang penuh nilai, moral, dan kehormatan, namun kita menjadi bangsa yang tidak ada sama sekali. Namun tidak etis, tidak berperilaku, tidak menghormati, justru akan terkubur sebagai bangsa yang kehilangan jati diri (tanpa jati diri) dan terhina dalam masyarakat dunia.
Apakah masih ada rasa malu di negeri ini? Banyak orang mengatakan bahwa para politisi yang memerintah negeri ini sudah tidak malu lagi. Rasa malu ini juga menjalar ke beberapa kelompok masyarakat. Bisa jadi kutu, bangsawan, ayam jago, pemfitnah, pembohong, anak muda, dan asal bahagia.
Sedikit demi sedikit, jika kebohongan ini terus dihadirkan sebagai kebenaran yang dibawa oleh pemerintahan para pengusaha, manajer, dan pecundang, maka mustahil “kebohongan ini, di mata rakyat, adalah kebenaran”. Mengapa ini bisa terjadi? Karena ketidaktahuan, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi program yang dijalankan oleh berbagai pemerintahan. Melempar kaos ke kerumunan, membagi-bagikan sembako, menyumbangkan uang sebelum pemilu, dan lain-lain.
Adapun kebodohannya, sudah jelas. Kualitas guru belum membaik. Mereka juga mengancam akan menarik biaya sertifikasi guru. Guru honorer tidak disebutkan namanya.
Sulit dan mahal untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena UKT meningkat secara signifikan. Dana beasiswa APBN sebesar 20% tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan pendidikan dan pengajaran serta sumber daya pendidikan.
Misalnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang baru-baru ini dikritik Jusuf Kalla, mantan wakil presiden, karena tidak belajar pendidikan dan tidak menerima tugasnya. Tidak ada rasa malu, dan tidak ada penjelasan. Inilah contoh hilangnya urat malu di kalangan PNS Republik Indonesia. Jangan sedih jika tidak ada rasa malu dalam cerita luar biasa ini. Begitulah nasib Indonesia yang didorong oleh kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kalau dicermati masa depannya di atas, dikelilingi oligarki negeri ini, akibatnya seperti yang kita hadapi saat ini.
Sayangnya, ketika ada seorang anak negara yang memiliki hati nurani yang besar dan semangat juang yang kuat untuk membawa perubahan di negeri ini, sekelompok pemimpin dan pemimpin politik menghalanginya untuk mengikuti pemilihan Gubernur DKJ. . tidak ada prosesi. Konten ini tayang di Kompasiana.com dengan judul “Fufufafa, Runtuhnya Akhlak Bangsa”
Alhasil, kemarahan masyarakat pun bermula dan terbentuklah gerakan Anak Abah yang menyebabkan kelompok tersebut menyelenggarakan pemilu bagi seluruh pemilih di wilayah tersebut. Rasa frustrasi yang terjadi di kalangan masyarakat inilah yang melemahkan hak-hak demokrasi mereka. Semua itu terjadi karena para pemimpin politik di negeri ini kehilangan rasa takutnya.
Baca Juga :