Partai Golkar tampak semakin agresif dalam berburu kursi menteri di kabinet Prabowo Subianto yang akan datang. Dengan tuntutan untuk mendapatkan setidaknya lima posisi penting di pemerintahan, Golkar menunjukkan tekad untuk memperkuat pengaruh politiknya. Namun, ambisi besar ini menimbulkan kekhawatiran mengenai besarnya ukuran kabinet yang dianggap tidak efisien dan bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi.
Golkar tidak hanya melihat kursi menteri sebagai sekadar simbol kekuasaan, tetapi juga sebagai peluang untuk mengamankan pengaruh dalam menjalankan kebijakan. Dengan kendali atas posisi strategis di kementerian, Golkar dapat memperluas jangkauan program-program pemerintah yang dapat memperkuat basis pemilihnya menjelang pemilu mendatang. Langkah ini juga dinilai sebagai strategi untuk menjaga posisi partai tetap relevan di tengah dinamika politik Indonesia.
Namun, langkah Golkar tidak lepas dari kritik. Ada kekhawatiran bahwa perebutan jatah menteri yang agresif oleh partai-partai koalisi, termasuk Golkar, dapat menciptakan kabinet yang “tambun.” Banyaknya jumlah menteri berpotensi meningkatkan beban anggaran negara, yang dianggap boros dan tidak sejalan dengan semangat debirokratisasi. Para pengamat menyoroti bahwa sebuah kabinet yang penuh dengan politisi sering kali menimbulkan konflik kepentingan dan dapat mengurangi efektivitas pengambilan keputusan.
Selain itu, pemerintahan yang terlalu dipenuhi oleh unsur politik berisiko mengesampingkan kriteria kompetensi dan profesionalisme dalam mengisi jabatan strategis. Situasi ini dapat membuat fokus kabinet teralihkan dari pelayanan publik yang efektif ke manuver politik dan negosiasi antar partai.
Para skeptis mengkhawatirkan bahwa langkah agresif Golkar, serta partai lain, dalam merebut kursi menteri akan mencerminkan politik bagi-bagi kekuasaan yang tidak sehat. Alih-alih meningkatkan kualitas birokrasi dan efisiensi pemerintahan, ambisi ini justru dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi birokrasi yang telah lama digaungkan. Jika kabinet mendatang lebih berorientasi pada kompromi politik dibandingkan pencapaian kebijakan nyata, maka peluang untuk membawa perubahan positif akan tergerus oleh borosnya anggaran dan minimnya inovasi dalam tata kelola negara.
Golkar mungkin melihat langkah ini sebagai jalan untuk memperkuat posisinya, namun bagi banyak pihak, ini juga menjadi indikasi bahwa kabinet Prabowo akan menghadapi tantangan berat dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan politik dan kebutuhan publik.
Baca Juga : Konflik di Lebanon: Serangan Israel Mengancam Keamanan Pasukan Perdamaian PBB