Jogja – Garuda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia yang bermakna bagi bangsa. Namun, tahukah detikers jika jumlah bulu burung garuda ternyata menyimpan makna tersendiri? Simak penjelasan berikut ini.
Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Lebih lanjut, disadur dari laman resmi Perpustakaan Universitas Peradaban, desain awal Garuda Pancasila dicetuskan oleh Sultan Hamid II pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selain itu, Moh Yamin dan Ki Hajar Dewantara juga turut terlibat.
Di samping bentuknya yang tampak gagah dan mengagumkan, ternyata, burung Garuda Pancasila memiliki makna tersembunyi. Penasaran? Yuk, simak pembahasan kompletnya yang telah detikJogja siapkan berikut ini!
Makna Jumlah Bulu Burung Garuda Pancasila
Berdasar informasi dalam buku Super Lengkap UUD 1945 & Amandemen oleh Tim Ilmu Educenter, jumlah bulu lambang negara Indonesia melambangkan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) dengan rincian:
1.Bintang melambangkan sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Rantai melambangkan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.Pohon beringin melambangkan sila ketiga, Persatuan Indonesia
4.Kepala banteng melambangkan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.Padi dan kapas melambangkan sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Di samping itu, garis hitam tebal yang melintang di tengah perisai menandai garis khatulistiwa. Hal ini juga dijelaskan dalam UU yang telah disebutkan. Dalam pasal 48 ayat (1) tertulis,
“Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.”
Di samping itu, garis hitam tebal yang melintang di tengah perisai menandai garis khatulistiwa. Hal ini juga dijelaskan dalam UU yang telah disebutkan. Dalam pasal 48 ayat (1) tertulis,
“Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.”
Warna Lambang Negara Indonesia
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, tepatnya di pasal 49, dijelaskan bahwasanya terdapat sejumlah warna pokok yang digunakan, yakni:
1.Warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai
2.Warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai
3.Warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda
4.Warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung
5.Warna alam untuk seluruh gambar lambang
Pada bagian lampiran, dijelaskan lebih dalam mengenai pemilihan warna yang digunakan, yakni:
1.Warna merah: MHB (RGB): merah 255, hijau 000, dan biru 000
2.Warna putih: MHB (RGB): merah 255, hijau 255, dan biru 255
3.Warna kuning emas: MHB (RGB): merah 255, hijau 255, dan biru 000
4.Warna hitam: MHB (RGB): merah 000, hijau 000, dan biru 000
Makna Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Di bagian paling bawah burung Garuda Pancasila, tertera pita bertuliskan semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh Mpu Tantular.
Dikutip dari buku Indonesiaku Bhinneka Tunggal Ika oleh Isra Widya Ningsih dkk, semboyan ini berasal dari bahasa Jawa Kuno. Biarpun sering kali diterjemahkan menjadi ‘Berbeda-beda, tetapi tetap sama’, arti per katanya cukup berbeda.
Kata bhinneka bermakna beraneka ragam atau berbeda-beda, sedangkan kata neka dalam bahasa Sansekerta berarti macam. Istilah tunggal dimaknai menjadi satu, sedangkan kata ika bermakna itu. Artinya, secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika berarti ‘Beraneka satu itu’.
Semboyan ini sangat cocok dipakai di Indonesia yang penuh keragaman. Semboyan ini melambangkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia biarpun berbeda suku, budaya, bahasa daerah, agama, ras, maupun kepercayaan.
Sejarah Penetapan Lambang Negara Indonesia
Dirangkum dari Jurnal Avatara berjudul ‘Proses Penetapan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Indonesia Tahun 1949-1951’ oleh Puput Virdianti, pada 16 November 1945, dibentuk Panitia Indonesia Raya yang bertugas menyelidiki arti lambang-lambang sebagai langkah awal kajian lambang negara Indonesia.
Singkat kata, usaha panitia di atas gagal dan dirasa perlu untuk membentuk tim lain. Oleh karenanya, pada 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lambang Negara di bawah komando Sultan Hamid II. Anggotanya adalah Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, M A Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R M Ng Purbatjaraka.
Pada 1950, Priyono selaku staf kementerian melakukan Sayembara Lambang Negara. Dari sayembara ini, dipilih dua gambar rancangan terbaik, yakni milik Mohammad Yamin dan Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II mempersiapkan lambang dalam bentuk dasar burung garuda yang memegang perisai Pancasila. Sementara itu, rancangan Mohammad Yamin dominan dengan simbol-simbol hewan seperti banteng, air, matahari, dan pohon kelapa yang dipadu dalam perisai.
Dalam tahapan selanjutnya, keberatan Mohammad Natsir akan dipakainya burung garuda yang terkesan mitologis dan khayalan mendapat respon positif. Akhirnya, burung Garuda diganti dengan figur burung elang rajawali.
Pemilihan elang rajawali sendiri dikarenakan burung ini merupakan sosok besar dan gagah sekaligus simbol tenaga pembangun. Harapannya adalah agar Negara Republik Indonesia Serikat saat itu bisa menjadi negara besar dan setara negara-negara lain di dunia.
Setelah melalui proses penyempurnaan berkali-kali, lambang negara Indonesia seperti yang terlihat saat ini diresmikan pada 17 Agustus 1951. Sejak saat itu, gambar lambang negara ini mulai disebarluaskan ke pelosok tanah air.
Baca Juga : Sambut Jokowi di Solo, Ahmad Luthfi: Sungkem Seperti Bapak Sendiri